Ringkasan buku: Thinking 101: Lessons in Clarity, Focus and Making Better Decisions

Author: Woo-kyoung Ahn

Tentang: Buku ini ngebahas berbagai bias kognitif dan kekeliruan berpikir yang sering kita alami di kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dibahas lewat pendekatan ilmiah dan berbagai contoh nyata di kehidupan. Buku ini ngasih tau tentang gimana cara otak kita bekerja, dan strategi gampang biar terhindar dari jebakan kognitif.

Komentar: Buku ini lumayan ngebuka pikiran saya tentang banyak hal. Salah satunya, bikin saya sadar kalo pamer/flexing justru ngerusak diri saya sendir. Buku ini juga bikin saya ga gampang percaya informasi yang banyak nyebar di internet. 

Buku ini dalam tiga kalimat:

  1. Pengambilan keputusan sering dipengaruhi berbagai bias kognitif (kesalahan berpikir). Kuncinya adalah, belajar memahami dari setiap bias tersebut.
  2. Cerita lebih berpengaruh ke otak kita daripada data atau fakta. Makannya, banyak yang termotivasi buat brenti kuliah karena cerita sukses Steve Jobs atau Bill Gates. Padahal faktanya, studi atau kuliah tetep jadi faktor terbesar penentu sukses.
  3. Di era teknologi makin maju, berpikir kritis itu penting banget. Banyak perusahaan dan oknum yang pengaruhin kita dengan manfaatin bias kognitif kita. 

Ringkasan buku:

#1 Bias konfirmasi.

  • Dimana kita cenderung cari sumber yang menguatkan argumen kita ketimbang cari bukti yang sebaliknya. 
    • Contoh: Kita punya argumen bahwa Indomie adalah mie instant terbaik. Kita googling "bukti bahwa indomie adalah mie terbaik". Tanpa kita tahu bukti lainnya, kita ga akan bener-bener bisa ngebuktiin hal tersebut. Sebaliknya, kalo kita googling, "mie yang lebih baik daripada Indomie" maka kita akan jauh lebih objektif.
  • Bisa juga, karena kita udah percaya informasi turun temurun, dan ga coba cari bukti sebaliknya.
    • Contoh: jaman dulu, yang bisa berburu adalah cowo. Cewe dirumah buat masak hewan buruan dan lain-lain. Artinya, cowo kerja diluar, cewe kerja dirumah. Dan confirmation bias bikin hal itu tetep dipercaya sampe sekarang. Padahal, di jaman teknologi maju kek sekarang, cewe bisa kerja bahkan lebih kompeten daripada cowo.

#2. Self-fulfilling prophecy.

  • Dimana kita percaya sesuatu, dan kepercayaan itu ngebuat hal yang tadinya baik-baik aja, jadi runyam. Alias, pikiran buruk yang kita takutin jadi kenyataan karena pikiran itu sendiri.
    • Contoh: Kita curiga pasangan selingkuh. Kita jadi takut putus ama pacar. Karena kita curigaan, tiap aktivitas pacar jadi mencurigakan di mata kita. Maen hp dikira chatting ama selingkuhan, padahal lagi maen shopee buat jualan. Ngobrol asik ama cowo dikira selingkuh, padahal itu sepupu. Di wa ga bales dikira lagi asik jalan ama yang lain, padahal lagi sibuk kejar deadline. Akhirnya, jadi sering berantem kecil. Dan akhirnya, yang ditakutin jadi kenyataan. Kita jadi putus ama pacar kita.

#3. Availability bias

  • Dimana kita percaya sama apa yang kita udah tau atau lihat. 
    • Contoh: Kita percaya rokok lebih bahaya daripada gula. Kenapa? karena lebih banyak berita yang bilang rokok itu jelek. Padahal, secara data, angka kematian karena gula lebih besar daripada rokok.
    • Contoh: Kita suka minder sama yang pada udah kaya di usia muda. Padahal, mereka cuma secuil doang di antara jutaan populasi Indonesia. Tapi, postingan di sosmed di dominasi ama mereka. Akhirnya, kita percaya bahwa kalo belum sukses di usia muda, berarti kita gagal.

#4. Cerita lebih dipercaya daripada data.

  • Law-large number. Secara statistik, mereka yang lulus kuliah punya kesempatan lebih besar buat jadi sukses di masa depan. Hanya sebagain kecil aja yang bisa sukses tanpa harus lulus kuliah. Masalahnya adalah, kita lebih banyak percaya sama yang "sebagian kecil" itu. Kenapa? karena "story." Cerita mereka yang jadi kaya dari ga punya apa-apa lebih ngebakar semangat. Kita jadi percaya bahwa kuliah itu ga penting. Gawat nih!
  • Regression toward the mean. Hidup itu kaya roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Pada dasarnya, semua hasil dari apa yang kita lakuin itu ga selamanya sama.
    • Contoh: kita buka bisnis baru. Di hari-hari awal, omset menggila. Karena kita ga sadar tentang bias ini, kita spontan gelontorin duit buat buka puluhan cabang. Dan ternyata, roda berputar. Bisinis kita nge drop di hari-hari berikutnya. Dan, sebelum roda berputar lagi, sebelum posisi kita di atas lagi, kita udah bangkrut duluan, ga mampu bayar tagihan.

#5. Stereotype.

  • "Orang china tu pelit!" "Orang batak itu galak!" dan stereotype lainnya.
  • Kita cenderung suka nge-judge satu komunitas dari perbuatan 1-2 orang aja. 
    • Ini pernah kejadian di temen saya. Temen saya punya pengalaman jelek pacaran sama anak band. Akhirnya, dia nyimpulin bahwa semua anak band bukan ga cocok dijadiin pacar bahkan istri. Padahal, secara logika dan statistik ga ada data yang ngedukung claim tersebut.
    • Ini kenapa banyak yang ngeliat agama Islam sebagai agama teroris. Padahal, yang ngelakuin cuma 1-2 oknum aja. Tapi semua dipukul rata kena dampaknya. Mereka para muslim jadi sering dicurigain. Ga adil kan? 

#6. Negativity bias

#7. Biased Interpretation

  • Dimana kita ga berpikir lebih panjang atau kritis atas sebuah klaim.
    • Kalo ada klaim “70% yang minum obat ini sembuh” nah jangan cepet percaya. Metode eksperimennya gimana? jangan-jangan yang ga minum juga bisa sembuh. Alias, yang bikin sembuh ternyata bukan obatnya. Tapi pola hidupnya. Mereka yang hidupnya sehat rajin olahraga juga bisa sembuh.
    • Contoh lain: Ada klaim "Penelitian terhadap 1000 orang sukses menunjukkan bahwa 95% dari mereka punya kepercayaan diri yang besar." Kesimpulan apa yang bisa diambil dari sini? Apakah kalo kita percaya diri udah pasti kaya? Belum tentu! karena yang mereka teliti cuma orang sukses doang. Bisa jadi, ketika 1000 orang miskin diteliti juga, mereka semua juga punya kepercayaan diri lho, tapi mereka masih miskin.

#8. Perspective taking.

  • Curse of knowledge: Dimana kita cenderung nganggep diri kita lebih superior.
    • Semakin kita baca dan belajar, semakin kita tau. Semakin kita jadi individu yang baik. Tapi, hati-hati. Karena kita juga cenderung lebih gampang liat kesalahan orang lain. Kita jadi merasa sok tau. Kita jadi gampang kena "kutukan." Kutukan orang ngeselin.
    • Kutukan ini bikin kita susah jadi "guru" yang baik. Seorang ahli di bidang tertentu belum tentu jago buat ngajarin bidang tersebut. Kenapa? karena mereka susah posisiin diri mereka di posisi pemula. Mereka udah lupa waktu mereka mulai dari 0. Mereka sering bilang *"Masa gitu aja ga bisa? itu kan gampang?"* Ya jelas gampang, situ kan udah jago.
  • Perspective taking juga bisa berarti: Kita cenderung berpikir seolah-olah kita tau mau orang lain.
    • Contoh: Kita beranggepan bahwa orang lain mau liat versi terbaik kita. Versi ter-ganteng atau ter-cantik kita. Akhirnya, kita pake baju dan barang2 branded. Padahal, justru orang lain benci liat gituan. Mereka justru ga pengen liat kita pake sesuatu yang mereka ga punya.
    • Intinya, flexing itu bukan bikin mereka respect sama kita. Kita justru bisa jadi dibenci. Bisa jadi mereka ga mau ketemuan lagi sama kita.


Comments