Gaji 15 juta di Jakarta udah cukup? Mengenal apa itu "relative position"


Apakah punya gaji 15 juta di ibukota udah memuaskan? Meskipun secara absolut jumlah tersebut bisa dibilang cukup (tiga kali lipat dari UMR!), puas atau engga nya seseorang sangat relatif, tergantung konteksnya. Punya gaji 15 juta di lingkungan dimana yang lain gaji-nya UMR sangatlah memuaskan. Tapi, di lingkungan dimana yang lain gaji-nya 20 juta? belum tentu. Bisa jadi justru kita akan ngerasa minder dan ga puas sama gaji atau pekerjaan yang kita. Dengan kata lain, kepuasan seseorang terhadap gaji atau bahkan jabatan-nya sangat tergantung sama lingkungannya. Itulah yang dinamakan dengan relative position.

“Men don’t desire to be rich, but richer than other men” — John Stuart Mill


Memanjat anak-tangga sosial

Relative position adalah status sosial seseorang kalo dibandingin sama sekitarnya. Status sosial mencakup antara lain jabatan, pendidikan, dan juga pendapatan / gaji. Dengan kata lain, kita cenderung ngebandingin diri kita dengan tetangga, teman, atau rekan kerja kita. Ini yang bisa mempengaruhi perasaan, rasional, atau bahkan pengambilan keputusan dari seseorang. Kita bakal minder saat temen-temen kita udah pada lulus S1, atau bahkan S2. Kita bakal iri sama temen-temen kita yang gaji-nya udah pada 2–3 kali UMR sedangkan kita masih gitu-gitu aja.


Padahal, bisa jadi, temen kita yang gaji-nya 3x UMR, juga iri sama temen-nya yang gaji-nya 5x UMR, dan temen-nya yang gaji-nya 5x UMR, iri sama temen-nya yang gajinya 10x UMR, dst. Rasa iri itu kaya anak-tangga. Kita yang ada di anak-tangga 'sosial' pertama bakal iri sama anak-tangga ke-dua, sebagaimana anak-tangga kedua bakal iri sama anak tangga ke-tiga. Begitu seterusnya dan ga akan ada habisnya.


Rumput tetangga lebih hijau

Hal ini juga berlaku di kehidupan bertetangga. Kita bakal hidup lebih bahagia kalo ukuran rumah kita lebih gede daripada tetangga kita. Sebaliknya, kita ga akan betah tinggal di lingkungan dimana rumah kita paling kecil diantara lainnya. Sama halnya kita bakal hidup lebih bahagia apabila rumah kita adalah 'Hak Milik' dimana tetangga kita kebanyakan ngontrak.


Yang menurut saya paling kocak, adalah ibu-ibu arisan yang pada pamer anaknya udah pada sukses-sukses, ada yang jadi PNS, ada yang sekolah S3 di luar negeri, ada yang bisnisnya udah gede, dll. Kalo bukan anak, mereka bakal pamer suami-nya kerja dimana, rencana liburan ke luar negeri, dan banyak lagi.


Makannya ga heran, kalo sebuah keluarga yang tadinya baik-baik aja tiba-tiba jadi runyam. Secara ekonomi mereka mapan, tapi tiba-tiba suami yang ga salah apa-apa kena semprot istri karena suami sebelah udah naik jabatan. Atau sebaliknya, istri kena omel sama suami karena istri temen kantornya selalu bekelin makanan buat suaminya.


Bahaya kompetisi menuju puncak rantai makanan

Menurut Frank Robert, dari jaman dulu seleksi alam maksa manusia untuk “berkompetisi.” Bukan cuma buat ngumpulin sumber daya, tapi juga buat mencapai posisi tertinggi. Kepuasan hidup seseorang bakal meningkat saat mereka berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hal ini akhirnya sering berakibat ke keputusan-keputusan yang ga rasional.


Kenapa banyak dari kita sering bela-belain pake paylater atau kredit buat beli motor baru, iPhone, atau barang-barang branded lainnya? Padahal, barang yang kita punya sekarang masih bagus dan bisa dipakai. Hal ini sering dilakukan demi satu hal aja, yaitu pansos atau memanjat anak-tangga sosial. Lebih tepatnya, untuk menyamakan posisi sosial kita dengan temen kantor, tetangga, atau circle-circle kita lainnya (atau bahkan berusaha berada di posisi puncak pada circle tertentu). Alhasil, kita harus bangun tidur tiap pagi dengan puluhan notifikasi tagihan paylater.


Banyak dari kita yang mungkin udah nyaman dan berkecukupan di kantor lama, tapi pindah kerjaan demi gaji yang lebih gede. Atau, banyak juga yang mungkin rela lembur berhari-hari sampai jarang nongkrong sama temen atau bahkan lupa anak istri. Semua demi membawa posisi sosial kita ke titik yang minimal sama atau lebih tinggi dari temen atau tetangga kita.

Udah banyak juga riset yang nunjukkin bahwa seseorang menjadi ga nyaman dengan tempat tinggalnya karena rumah tetangga lebih besar, lebih bagus, atau punya equipment kitchen yang lebih glamour. Pindah rumah adalah salah satu life-events yang signifikan. Artinya, jangan sampai hal tersebut terjadi hanya karena tetangga-tetangga kita sudah punya All-Clad Copper Core 24-Piece Cooware Set.


Manusia, secara sadar atau engga, selalu mencoba untuk menjadi superior dibandingkan lainnya.


Hidup bukan hanya sekedar kompetisi

Meskipun manusia bisa hidup sederhana tanpa harus berada di puncak teratas rantai makanan, kenyataanya tidak semudah itu. Manusia secara alamiah akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.


Everything is relative, even when it shouldn’t be — Dan Ariely

Lingkungan sangat berperan penting dalam hal ini. Sebagai contoh, saat kita masuk kantor dan kita ngeliat hp baru punya temen, kita jadi iri dan lama-lama gesek kartu kredit buat beli hp baru juga. Besoknya, kita masuk kantor dan temen kita lainnya ngeliat hp baru punya kita, mereka lama-lama gesek kartu kredit buat beli hp baru juga. Relative position itu menular. Selama orang-orang di posisi anak-tangga sosial teratas masih hidup secara mevvah, kita yang berada di anak-tangga sosial bawah akan terus “dipaksa” kerja banting tulang demi menyamakan posisi kita. Begitu juga dengan keputusan finansial kita, yang akan berpengaruh pada mereka yang berada di anak-tangga sosial dibawah kita.


Sebenernya, ada beberapa hal yang bisa kita minimalisir supaya engga terjerumus. Dijaman sebelum ada sosmed, gampang banget buat orang me-manage ekspektasi dan posisi sosial mereka. Mereka cuma perlu “membandingkan” diri mereka dengan orang-orang sekitar mereka aja. Di jaman sekarang, kita banyak bandingin dengan gaya hidup orang random yang berkeliaran di insta story. (Padahal bisa jadi barang yang mereka pamerin juga masih kredit... Atau bahkan pinjam temennya.) Intinya, minimalisir penggunaan sosmed.


Manusia selalu bandingin dengan sekitarnya. Otomatis, circle dimana kita berada juga akan mempengaruhi keputusan finansial kita. Kalau circle kita ga suka pamer-pamer barang atau gadget mahal, dan ga ikut-ikutan trend baru atau apalah itu, maka kita juga engga perlu repot-repot paylater atau bela-belain lembur demi nyamain mereka. Carilah circle yang santuy, engga gila pamer.


Konsekuensi sosial panjat sosial

Kita beresiko “didepak” dari sebuah circle, kalo kita pamer hp baru atau barang bermerk demi panjat sosial di circle yang lainnya. Banyak orang mikir kalo kita bakal dapet pengakuan atau membangun impresi positif dengan menunjukkan bahwa posisi kita lebih tinggi. Padahal, justru sebaliknya.


Orang lain justru bakal ngebayangin dirinya berada di posisi yang sama kaya kita. Dari situ mereka bakal sadar bahwa sulit untuk sampe di posisi tersebut. Dan, mereka bakal ngerasa ga puas dan mencari circle lain. Atau, kita yang justru bakal diusir diem-diem dari circle.


Pernah engga sih kalian ngerasa kalau tiba-tiba grup WhatsApp kalian sepi? bisa jadi yang lain bikin grup WhatsApp baru, dan kalian engga di-invite.


Tulisan ini ditulis di macbook, yang saya beli karena saya temen-temen saya disini semuanya pakai macbook.


Comments