Author: Robert Cialdini
Tentang: Buku ini ngebahas tentang prinsip-prinsip psikologis yang mempengaruhi seseorang buat bilang "ya" terhadap suatu permintaan. Buku ini bilang ada enam prinsip yang bisa diaplikasiin dalam kehidupan bermasyarakat, supaya orang "patuh" sama kita. Di sisi lain, buku ini ngajarin gimana caranya supaya kita ga gampang terpengaruh sama enam prinsip tersebut
Komentar tentang buku ini: Buku ini bukan cuma bisa dipake di dunia bisnis aja. Tapi beberapa poin dari buku ini sebenernya lebih masuk ke ranah sosial. Gimana kita bisa cari temen, gimana ngejaga hubungan timbal balik dll.
Buku ini dalam 3 kalimat:
- Ada enam prinsip utama yang bisa dipake buat mem"pengaruhi" orang lain, yaitu: timbal balik, komitmen dan konsistensi, bukti sosial, kesukaan, otoritas, dan kelangkaan.
- Manusia pada dasarnya punya pola pikir otomatis/percaya sama stereotip, kaya mahal=bagus, langka=bagus, terkenal=bisa dipercaya, dst.
- Kombinasi antara enam prinsip utama dan pola pikir otomatis itulah yang bikin kita sebagai manusia, gampang buat dipengaruhi.
Ringkasa buku:
1. Timbal balik – Memberi dan Menerima
Yaitu norma sosial yang ngedorong seseorang ngebales kebaikan yang diterima.
- Kalo kita trima suatu barang (oleh-oleh dari temen kantor misalnya) Maka kita jadi punya hutang budi. Dan di masa mendatang, kita akan ga enak kalo nolak permintaan orang tersebut (atau minimal, ngerasa wajib ngasih oleh-oleh balik)
- Hal ini banyak dipake di dunia bisnis.
- Produk-produk ngasih free sample,
- Layanan streaming ngasih free trial sebulan,
- Atau ngajak calon klien makan malem
- Ngasih hadiah/benefit-benefit kecil ke karyawan (supaya lebih produktif/engga resign)
- Gimana supaya ga terpengaruh?
- Berani nolak kalo dikasih barang/ditawarin bantuan
- Makannya, ga jarang orang suka nolak kalo dibantu/dikasih sesuatu. Karena mereka ga mau punya hutang budi. Karena mereka ga mau/ga bisa bales pemberian orang lain di masa depan.
2. Komitmen dan Konsistensi – Perangkap Pemikiran
Ngejelasin gimana kita punya dorongan kuat buat bersikap konsisten sama tindakan atau komitmen yang udah kita buat sebelumnya.
- Contoh: Sebelum orang lain diminta berbuat sesuatu, (kerja bakti, misalnya) kita bisa "pura-pura" lakuin survey seminggu sebelum hari-H. Kita bisa tanya mereka "Jikalau ada kerja bakti di kompleks ini, apakah anda bersedia untuk berpartisipasi?" Karena dorongan sosial, pasti banyak yang bilang "bersedia." Nah, begitu beberapa hari sebelum hari-H, begitu kita minta mereka buat ikut kerja bakti, mereka bakal susah nolak, karena mereka udah ber-komitemen "bersedia" waktu di survey.
- Ini lebih efektif daripada langsung minta mereka buat ikut kerja bakti
- Ini juga bisa dipake di kehidupan berumah tangga/suami-istri. Salah satu bisa nanya dengan pernyataan pancingan sebelum nanya pertanyaan yang asli.
- Contoh: Misal kita mau nanya "Yang, besok aku boleh nongkrong bareng temen?" kita bisa pancing dulu supaya keluar "komitmen" dari pasangan kita. Kita bisa nanya "Yang, kamu sayang sama aku kan?" dilanjut "Kalo emang sayang, seandainya aku butuh waktu me-time gimana?" baru kita keluarin pertanyaan yang sesungguhnya "Yang, besok aku boleh nongkrong bareng temen?"
- Gimana supaya ga terpengaruh?
- Hati-hati dalam berkomitmen. Jangan ngumbar janji.
- Kita sebagai manusia gampang bilang "iya" dalam skenario yang belum terjadi. Kita gampang bilang "iya" kalo ditanya "apa kamu siap nolong aku kalo nanti aku kesusahan?". Kita gampang bilang "iya" karena itu belum kejadian. Pas beneran kejadian, kita jadi ogah-ogahan. Tapi karena kita tunduk sama komitmen/konsistensi atas apa yang kita ucapin, mau ga mau kita harus beneran nepati janji kita.
3. Bukti Sosial – Kebenaran yang Ditentukin Orang Banyak
Manusia gampang dibuat percaya lewat bukti-bukti sosial
- Contoh: Kita percaya restoran enak karena banyak yang rating (padahal, bisa aja mereka dibayar)
- Sama halnya kita percaya restoran enak kalo yang ngantri banyak
- Kita jadi ikut-ikutan suara terbanyak (konformis)
- Kalo sekitar kita pilih A, maka kita cenderung ngikut pilih A
- Kalo sekitar kita pake produk tertentu, maka kita jadi ikutan pake produk tertentu.
- Kita cenderung percaya sama public figure yang punya follower banyak
- Kita cenderung percaya kalo film/lagu bagus kalo banyak yang download (padahal belum tentu beneran bagus.)
- Itu kenapa banyak perusahaan suka bilang "90% Warga X puas pake produk kami."
- Itu kenapa testimoni bisa ngedorong penjualan toko-toko online. Karena calon pembeli gampang beli kalo tau banyak orang yang puas sama produk tersebut.
- Gimana supaya ga terpengaruh?
- Pertama, perlu diinget bahwa testimoni, rating, review, follower, itu semua bisa dibeli. Artinya, semua hal itu belum tentu nentuin bagus engga nya sebuah produk.
- Kedua, lakuin riset sendiri. Jangan percaya restoran enak kalo belum nyoba makan disana. Jangan percaya film itu bagus kalo belum nonton sendiri.
4. Favorit – Pencuri yang Ramah
- Orang lebih cenderung bilang "ya" sama orang lain yang mereka suka/nge-fans.
- Faktor apa aja yang bikin orang bisa suka sama kita?
- Fisik (Ini agak susah kalo dari sononya kita kurang oke. Paling engga, kita bisa akalain lewat bentuk badan yang bagus, pakaian yang rapi, etc.)
- Kesamaan (kesamaan bisa dari kota kelahiran, masa lalu, pilihan politik, agama, budaya, hobby, dll)
- Pujian (Kalo takarannya pas, pujian bisa bikin orang lain jadi suka sama kita. Tapi kalo kebanyakan, kita bisa dianggep penjilat)
- Kerja sama (Kalo orang lain tau kita bisa dianggep kerja sama, maka mereka bakal jauh lebih suka sama kita)
- Gimana supaya ga terpengaruh?
- Hampir sama kaya poin sebelumnya, kita harus lebih kritis dalam menilai pemikiran atau perkataan orang lain.
- Jangan karena mereka punya fisik yang menarik, ada kesamaan sama kita, suka muji, dan bisa diajak kerja sama, kita jadi auto percaya sama mereka.
5. Otoritas - Kepatuhan yang terarah.
- Hampir mirip sama poin sebelumnya. Intinya, kita percaya dan lebih gampang bilang iya sama mereka yang punya 3 hal: jabatan, pakaian, dan atribut kekuasaan.
- Contohnya simpel aja, kita bakal lebih patuh/tunduk sama polisi, satpam, atau mereka yang pake seragam khusus yang nunjukkin otoritas lebih tinggi.
- Tapi kadang, hal ini bisa jadi sebaliknya. Kalo kita udah ga percaya sama pemegang kekuasaan, apapun yang mereka bilang, kita bakalan susah percaya.
6. Kelangkaan - Aturan Barang Langka
Manusia nganggep apapun yang langka sebagai sesuatu yang bernilai tinggi.
- Itulah kenapa orang gampang dipengaruhi lewat embel-embel "limited edition," atau edisi-edisi terbatas lainnya.
- Semakin langka, semakin orang makin tertarik.
- Ini juga berlaku ke "tenggat waktu." Orang bakal makin terdorong ketika barang/atau harga tertentu cuma bisa didapetin di waktu tertentu.
- Misal, "Diskon 50% hanya sampai akhir bulan"
- Disaat bersamaan, apapun yang lebih mahal kita anggep sebagai barang yang kualitasnya bagus. Seringkali, murah kita anggep sebagai barang murahan.
- Itulah kenapa harga-harga barang ditulis dengan cara begini. Harga asli (misal 250.000) dicoret, dan dibawahnya ditulis harga setelah diskon (misal 100.000). Kenapa? pertama karena buat mancing kita dengan ilusi diskon. Kedua, karena kalo harga langsung ditulis "Rp 100.000" orang bakal mikir "ah kok murah, pasti murahan." Tapi kalo harga awalnya juga ikut ditulis, maka orang bakal mikir kalo meskipun harganya murah, kualitas ga murahan.
- Gimana supaya ga terpengaruh?
- Sebenernya cukup simpel. Kelangkaan, apalagi berhubungan sama produk-produk tersier, adalah hal yang dibuat-buat sama perusahaan buat narik minat pembeli.
- Ga jarang, perusahaan/toko sengaja bikin stok jadi dikit supaya orang makin penasaran. Dan begitu hari-H, mereka keluarin stok mereka dan orang bakal berbondong2 beli.
Comments
Post a Comment